polres-serkot.id – Ombudsman Republik Indonesia (RI) memperkirakan kerugian negara akibat maladministrasi beras dalam tata kelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mencapai Rp7 triliun. Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, menyatakan bahwa penyebab utama meliputi penurunan mutu beras, biaya pengelolaan yang tinggi, dan masalah lain yang masih diselidiki. Dengan demikian, artikel ini mengulas penyebab, dampak, dan solusi untuk mengatasi krisis pengelolaan beras yang merugikan negara dan masyarakat.
Penyebab Utama Maladministrasi Beras
Yeka menjelaskan bahwa penumpukan stok di gudang Perum Bulog menyebabkan 300 ribu ton beras terancam tidak layak konsumsi (disposal stock). Ia menghitung kerugian dari disposal stock mencapai Rp4 triliun, berdasarkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebesar Rp12.500 per kg. “Kami punya data, 300 ribu ton beras berpotensi disposal, nilainya Rp4 triliun,” ujar Yeka di Jakarta, Rabu (3/9/2025) CNN Indonesia.
Selain itu, Bulog menerapkan kebijakan pembelian gabah any quality, yang menyerap gabah tanpa memandang kualitas. Kebijakan ini meningkatkan biaya produksi karena gabah berkadar air tinggi memerlukan penanganan khusus. “Penanganan any quality membuat ongkos produksi lebih mahal,” tambah Yeka. Oleh karena itu, kebijakan ini menjadi salah satu pemicu utama maladministrasi beras.
Faktor Lain Penyumbang Kerugian
Yeka menyebutkan bahwa kerugian Rp2,5 triliun hingga Rp3 triliun berasal dari masalah lain, seperti penyaluran beras SPHP yang tidak berkualitas dan indikasi penyalahgunaan wewenang. Ombudsman sedang menyelidiki faktor-faktor ini untuk memastikan penyebab pastinya. Menurut Media Indonesia, masalah ini mencakup kelangkaan beras di ritel modern dan harga di atas HET. Dengan demikian, total kerugian akibat maladministrasi beras mencapai Rp6,5 triliun hingga Rp7 triliun.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kenaikan harga beras di 214 kabupaten/kota pada Agustus 2025, dengan inflasi bulanan 0,73 persen. Harga beras di luar Jawa sering melebihi HET pemerintah. Oleh sebab itu, maladministrasi beras memperparah ketidakstabilan harga dan pasokan.
Dampak Maladministrasi pada Masyarakat
Maladministrasi beras menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan pasokan, sehingga menyulitkan masyarakat mendapatkan beras berkualitas dengan harga terjangkau. Satgas Pangan Polri menangani kasus beras oplosan, yang mencampur beras SPHP dengan beras premium untuk dijual dengan harga lebih tinggi. Praktik ini merugikan konsumen hingga Rp99 triliun per tahun BBC News Indonesia. Dengan demikian, pengelolaan beras yang buruk berdampak langsung pada daya beli masyarakat.
Selain itu, penyaluran beras SPHP hanya mencapai 38.111 ton hingga Agustus 2025, atau 2,94% dari target 1,3 juta ton hingga Desember 2025. Hal ini memperburuk kelangkaan, meskipun stok CBP mencapai 4,2 juta ton. Oleh karena itu, masyarakat kesulitan mengakses pangan terjangkau, sementara petani dan penggilingan padi kecil merugi akibat harga gabah yang melonjak hingga Rp7.500–Rp8.400 per kg.
Solusi yang Diusulkan Ombudsman
Ombudsman mendorong pemerintah untuk memperbaiki tata kelola CBP guna mencegah kerugian lebih lanjut. Pertama, pemerintah harus mempercepat penyaluran beras SPHP ke pasar, terutama pada Agustus hingga Januari. Kedua, rantai distribusi perlu dievaluasi dengan melibatkan penggilingan padi (Bulog-Penggilingan Padi-Ritel-Konsumen). Ketiga, pemerintah harus melarang penjualan beras curah dan mendorong beras kemasan kecil dengan label mutu yang jelas.
Selain itu, Ombudsman menyarankan penyesuaian Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 agar selaras dengan SNI 6128/2020. Yeka menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung petani dengan harga gabah yang lebih baik untuk kualitas tinggi. Dengan demikian, perbaikan tata kelola dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan menjamin akses pangan.
Peran Pemerintah dan Bulog
Pemerintah, melalui Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog, memegang peran kunci dalam mengatasi maladministrasi beras. Bulog harus meningkatkan pengawasan kualitas beras di gudang dan memperbaiki sistem penyimpanan untuk mencegah penurunan mutu. Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi HET agar sesuai dengan biaya produksi, sehingga penggilingan padi kecil tidak merugi. Oleh karena itu, kolaborasi antara Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan Bulog sangat penting.
Satgas Pangan Polri juga harus terus menindak praktik beras oplosan. Dengan demikian, langkah tegas terhadap pelaku curang akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pengelolaan beras nasional. Selain itu, digitalisasi rantai pasok melalui e-Monitoring dapat meningkatkan transparansi.
Tantangan Tata Kelola Beras
Meskipun stok CBP mencapai 4,2 juta ton, penyaluran yang lambat dan maladministrasi beras menghambat manfaatnya bagi masyarakat. Tantangan utama adalah mempercepat distribusi tanpa mengorbankan kualitas dan menyesuaikan HET dengan dinamika pasar. Dengan demikian, pemerintah perlu bertindak cepat untuk mencegah kerugian lebih lanjut.
Selain itu, ketidakpastian aturan HPP dan HET membingungkan pelaku usaha, menyebabkan banyak penggilingan padi kecil tutup. Oleh sebab itu, pemerintah harus menciptakan iklim perdagangan yang kondusif untuk mendukung petani dan penggilingan padi.
Kesimpulan
Maladministrasi beras dalam tata kelola CBP menyebabkan kerugian negara hingga Rp7 triliun, dengan Rp4 triliun dari disposal stock dan Rp2,5–Rp3 triliun dari masalah lain. Krisis ini memicu kenaikan harga dan kelangkaan beras, merugikan masyarakat. Dengan mempercepat penyaluran SPHP, mengevaluasi HET, dan memperbaiki distribusi, pemerintah dapat mengatasi maladministrasi beras dan menjamin ketahanan pangan nasional.