polres-serkot.id – Kasus remaja Magelang salah tangkap menarik perhatian publik setelah DRP (15 tahun) alami dugaan penyiksaan oleh aparat di Kota Magelang, Jawa Tengah. Keluarga DRP, didampingi LBH Yogyakarta, laporkan kejadian ini ke Polda Jateng pada 16 September 2025. Oleh karena itu, kasus ini soroti pelanggaran hak anak dan prosedur polisi. Simak kronologi dan dampaknya berikut!
Kronologi Remaja Magelang Salah Tangkap
DRP, siswa SMK, jadi korban remaja Magelang salah tangkap saat beli bensin dan bayar jaket COD bersama teman. Aparat tangkap DRP di jalan, tuduh ikut demo perusakan tanpa bukti. Selain itu, polisi paksa DRP mengaku terlibat aksi, meski ia tak hadir di lokasi.
Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, bilang polisi tahan DRP kurang dari 24 jam. “Kami dampingi keluarga lapor ke Propam,” ujarnya. Menurut CNN Indonesia, aparat lakukan penyiksaan fisik, termasuk cambuk selang di dada dan punggung. Dengan demikian, kejadian ini langgar UU Perlindungan Anak.
Dugaan Penyiksaan Aparat
Aparat diduga tendang, cambuk dengan selang, dan hantam DRP dengan lutut tanpa alasan jelas. Contohnya, tindakan ini sebabkan luka fisik dan trauma mental. Selain itu, DRP hadapi rundingan teman sebaya dan ancaman dikeluarkan dari sekolah.
Human Rights Watch sebut penyiksaan anak langgar hak asasi manusia. Oleh karena itu, LBH tuntut aparat bertanggung jawab. Akibatnya, kasus ini picu kemarahan publik.
Penyebaran Data Pribadi
Data pribadi DRP—nama lengkap, alamat, sekolah, dan foto—muncul di grup WhatsApp warga dengan cap “pelaku perusakan”. Pengacara LBH, Royan, bilang polisi ambil data ini saat DRP di Polresta. “Penyebaran data langgar privasi anak,” tegasnya.
Menurut Detik Jateng, LBH selidiki pelaku penyebaran data. Oleh karena itu, keluarga tuntut keadilan atas pelanggaran privasi. Dengan demikian, kasus ini perlihatkan lemahnya perlindungan data.
Respons Keluarga dan LBH Yogyakarta
Ibu DRP, Dita, marah atas perlakuan aparat. “Anak saya tak ikut demo, tapi polisi paksa ngaku,” katanya. Oleh karena itu, keluarga lapor ke Polda Jateng dengan bantuan LBH Yogyakarta. Julian pastikan timnya pantau proses hukum.
Sebagai contoh, LBH dorong transparansi penyelidikan. Menurut LBH Yogyakarta, kasus ini harus jadi pelajaran. Akibatnya, hak anak seperti DRP bisa terlindungi.
Respons Polda Jateng
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, janji tangani laporan secara transparan. “Silakan lapor ke Propam atau Direskrimum. Kami buktikan aduan itu,” ujarnya. Selain itu, polisi akan kerja sama dengan pelapor.
Oleh karena itu, Artanto tekankan profesionalisme. “Kami selidiki laporan dengan teliti,” tambahnya. Dengan demikian, publik harap kasus ini selesai secara adil.
Dampak pada Remaja dan Masyarakat
Remaja Magelang salah tangkap seperti DRP alami trauma berat. DRP hadapi malu di sekolah, rundingan teman, dan ancaman dikeluarkan. Contohnya, ia takut beraktivitas seperti biasa.
Menurut Komnas HAM, kasus ini tunjukkan perlunya reformasi polisi. Oleh karena itu, masyarakat desak prosedur hukum lebih adil. Akibatnya, kasus ini jadi sorotan nasional.
Pelajaran dari Kasus Ini
Kasus remaja Magelang salah tangkap ingatkan pentingnya bukti sebelum penahanan. Polisi harus verifikasi tuduhan dengan cermat. Selain itu, UU ITE larang sebar data pribadi tanpa izin.
Sebagai contoh, pelaku penyebaran data harus dihukum. Oleh karena itu, LBH desak Polda tegas selidiki. Dengan demikian, kejadian serupa tak terulang.
Langkah Pencegahan di Masa Depan
Untuk hindari kasus serupa, polisi perlu pelatihan HAM. Contohnya, prosedur penahanan anak harus ikut UU Perlindungan Anak. Selain itu, lindungi data pribadi sesuai UU ITE.
Menurut UNICEF, anak korban salah tangkap butuh dukungan psikologis. Oleh karena itu, sediakan konseling untuk DRP. Dengan demikian, trauma anak bisa pulih.
Kesimpulan
Remaja Magelang salah tangkap DRP ungkap dugaan penyiksaan dan pelanggaran privasi oleh aparat. Keluarga dan LBH Yogyakarta tuntut keadilan, sementara Polda Jateng janji transparan. Pantau kasus ini untuk reformasi hukum lebih baik!