polres-serkot.id – China tolak denuklirisasi AS yang mengajaknya bergabung dalam pembicaraan pengurangan senjata nuklir bersama Rusia. Beijing menilai ajakan tersebut tidak realistis, mengacu pada jumlah senjata nuklirnya yang jauh lebih kecil dibandingkan AS dan Rusia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menegaskan bahwa tanggung jawab pelucutan senjata nuklir harus diemban oleh negara dengan arsenal terbesar. Artikel ini mengulas penolakan China, konteks ajakan AS, dan data terkini tentang persenjataan nuklir global.
China Tolak Denuklirisasi AS dengan Alasan Jelas
Pada 27 Agustus 2025, China secara tegas menolak ajakan Presiden AS Donald Trump untuk bergabung dalam pembicaraan denuklirisasi trilateral dengan Rusia. Guo Jiakun menyatakan bahwa China tolak denuklirisasi AS karena perbedaan signifikan dalam jumlah dan kebijakan nuklir. “Negara dengan arsenal nuklir terbesar harus memenuhi tanggung jawab utama untuk pelucutan senjata,” ujar Guo, merujuk pada AS, dalam konferensi pers di Beijing, dikutip dari Reuters.
China menegaskan bahwa mereka menjaga kebijakan “no first use” (tidak menggunakan nuklir terlebih dahulu) dan hanya memiliki stok senjata nuklir pada tingkat minimum untuk keamanan nasional. “Kami tidak terlibat dalam perlombaan senjata dengan siapa pun. Menuntut China bergabung dalam negosiasi trilateral adalah tidak masuk akal dan tidak realistis,” tambah Guo. Penolakan ini merespons pernyataan Trump pada 25 Agustus 2025, yang mengklaim telah membahas pengendalian senjata nuklir dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan ingin melibatkan China.
Data Senjata Nuklir dan Konteks Global
Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2024, Rusia memiliki 4.380 hulu ledak nuklir (1.718 dikerahkan), AS memiliki 3.708 (1.770 dikerahkan), dan China hanya memiliki 500 hulu ledak (24 dikerahkan). Inggris dan Prancis masing-masing memiliki 225 dan 290 hulu ledak dikerahkan. Data ini bertentangan dengan klaim Trump bahwa AS memiliki stok nuklir terbesar, menunjukkan Rusia sebagai pemilik arsenal terbanyak.
Perjanjian New START, yang membatasi hulu ledak strategis dikerahkan hingga 1.550, menjadi satu-satunya kesepakatan pengendalian senjata antara AS dan Rusia yang masih berlaku hingga 2026. Namun, Rusia menangguhkan partisipasinya pada 2023 sebagai respons terhadap dukungan militer AS ke Ukraina, meski tetap mematuhi batasan perjanjian. China, yang belum pernah bergabung dalam perjanjian serupa, konsisten menolak negosiasi trilateral, menekankan bahwa AS dan Rusia harus memimpin pengurangan senjata nuklir terlebih dahulu.
Alasan Penolakan China
China tolak denuklirisasi AS dengan beberapa alasan utama:
- Ketimpangan Arsenal Nuklir: Dengan hanya 500 hulu ledak dibandingkan ribuan milik AS dan Rusia, China menilai tidak adil jika diminta mengurangi stoknya secara proporsional.
- Kebijakan Defensif: China mempertahankan strategi nuklir berbasis pertahanan, dengan kebijakan “no first use” dan fokus pada keamanan nasional, berbeda dengan postur strategis AS dan Rusia.
- Tanggung Jawab Historis: Beijing menegaskan bahwa AS dan Rusia, sebagai pemilik mayoritas senjata nuklir dunia, harus memimpin pelucutan sebelum melibatkan negara lain.
Guo juga menyinggung bahwa lingkungan keamanan strategis China berbeda, membuat negosiasi trilateral tidak relevan dengan kebutuhan nasionalnya. China lebih memilih mendukung denuklirisasi global secara bertahap, termasuk melalui Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Implikasi dan Reaksi Global
Penolakan China menyoroti tantangan dalam negosiasi pengendalian senjata nuklir global. Trump, dalam pernyataannya pada 25 Agustus 2025, mengungkapkan kekhawatiran bahwa China bisa mengejar jumlah senjata nuklir AS dan Rusia dalam lima tahun. Namun, hingga kini, Moskow belum mengomentari usulan tersebut, dan hubungan AS-Rusia tetap tegang akibat konflik Ukraina.
Sementara itu, inisiatif seperti P5 process (kolaborasi lima negara nuklir NPT: AS, Rusia, China, Inggris, Prancis) menunjukkan potensi kerja sama, meski hasilnya masih terbatas. Laporan dari Brookings Institution menekankan pentingnya saluran konsultasi untuk mencegah proliferasi nuklir, tetapi ketegangan geopolitik, termasuk sanksi AS terhadap China dan konflik Ukraina, menghambat kemajuan.
Penutup
China tolak denuklirisasi AS dengan alasan ketimpangan arsenal dan kebijakan nuklir yang berbeda, menegaskan bahwa AS dan Rusia harus memimpin pelucutan senjata. Dengan hanya 500 hulu ledak dan kebijakan defensif, Beijing menilai ajakan trilateral tidak realistis. Meski demikian, diskusi pengendalian senjata tetap krusial untuk stabilitas global. Mari dukung upaya diplomatik untuk menciptakan dunia yang lebih aman tanpa ancaman nuklir.