0 0
Berita Nasional

Bukan Hanya DPR, DPRD Juga Dapat Tunjangan Rumah Puluhan Juta

Tunjangan rumah
0 0
Read Time:3 Minute, 41 Second

polres-serkot.id – Tunjangan rumah anggota DPR yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan memicu kemarahan masyarakat, sehingga memantik demonstrasi di berbagai kota sejak Agustus 2025. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah berjanji mengevaluasi tunjangan tersebut, termasuk tunjangan perumahan. Namun, anggota DPRD di daerah seperti DKI Jakarta, Depok, dan Kabupaten Tangerang juga menerima tunjangan serupa. Artikel ini mengulas besaran tunjangan rumah DPRD, respons masyarakat, serta langkah evaluasi, dengan fokus pada transparansi dan akuntabilitas.

Besaran Tunjangan Rumah DPRD

Pertama-tama, anggota DPRD di berbagai daerah menerima tunjangan rumah, dengan nilai yang bervariasi sesuai peraturan daerah. Berikut rincian dari tiga daerah:

DKI Jakarta: Tunjangan Hingga Rp78,8 Juta

Sebagai contoh, Gubernur DKI Jakarta menetapkan tunjangan perumahan melalui Keputusan Gubernur Nomor 415 Tahun 2022. Pimpinan DPRD menerima Rp78,8 juta per bulan (termasuk pajak), sedangkan anggota DPRD mendapatkan Rp70,4 juta per bulan. Selain itu, penghasilan anggota DPRD DKI, termasuk tunjangan reses dan kunjungan kerja, mencapai Rp139,2 juta per bulan atau Rp1,67 miliar per tahun. Dengan demikian, angka ini memicu kritik keras, terutama karena banyak masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi.

Depok: Komitmen Evaluasi Tunjangan

Sementara itu, Wali Kota Depok Supian Suri dan Ketua DPRD Ade Supriyatna sepakat mengevaluasi tunjangan perumahan setelah dialog dengan masyarakat pada 31 Agustus 2025. Berdasarkan Peraturan Wali Kota Nomor 97 Tahun 2021, ketua DPRD menerima Rp47,1 juta, wakil ketua Rp43,1 juta, dan anggota Rp32,5 juta per bulan. Oleh sebab itu, mereka berjanji menyesuaikan tunjangan ke angka yang lebih wajar, meskipun detailnya masih menunggu pengumuman.

Kabupaten Tangerang: Batalkan Kenaikan Tunjangan

Di sisi lain, DPRD Kabupaten Tangerang membatalkan rencana kenaikan tunjangan perumahan untuk 2025 setelah protes mahasiswa pada 1 September 2025. Awalnya, Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2025 mengusulkan Rp43,5 juta untuk ketua, Rp39,4 juta untuk wakil ketua, dan Rp35,4 juta untuk anggota. Namun, DPRD kini kembali menggunakan Perbup Nomor 94 Tahun 2023, dengan tunjangan Rp35 juta untuk ketua, Rp34 juta untuk wakil ketua, dan Rp32 juta untuk anggota. Dengan kata lain, DPRD merespons aspirasi masyarakat dengan cepat.

Respons Masyarakat terhadap Tunjangan

Demonstrasi besar-besaran sejak Agustus 2025 menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap tunjangan rumah yang dianggap berlebihan. Misalnya, Ari Subagyo dari Forum Warga Kota Indonesia menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap penghasilan DPRD DKI, termasuk tunjangan reses dan kunjungan kerja. Ia menegaskan bahwa angka Rp1,67 miliar per tahun per anggota terlalu tinggi di tengah kesenjangan sosial. Oleh karena itu, ia meminta DPRD DKI segera berbenah, sejalan dengan arahan Presiden.

Demikian pula, mahasiswa di Kabupaten Tangerang menuntut pencabutan Perbup Nomor 1 Tahun 2025. Mereka menganggap kenaikan tunjangan tidak mencerminkan kepekaan terhadap rakyat, terutama karena banyak warga berpenghasilan di bawah UMR. Akibatnya, DPRD setempat membatalkan kenaikan dan berjanji meningkatkan transparansi. Selain itu, masyarakat juga menuntut jaminan tidak adanya tindakan represif terhadap demonstran.

Dasar Hukum Tunjangan

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menjelaskan bahwa DPR menetapkan tunjangan rumah dengan mengacu pada tunjangan DPRD DKI sebagai patokan. Dengan demikian, Kementerian Keuangan turut mengkaji penetapan ini berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2017, yang telah diubah menjadi PP Nomor 1 Tahun 2023. Aturan ini mengatur hak keuangan DPRD, termasuk tunjangan perumahan. Namun, karena biaya hidup berbeda antar daerah, besaran tunjangan bervariasi. Sebagai contoh, tunjangan DPRD DKI lebih tinggi karena harga properti di Jakarta jauh lebih mahal.

Meski begitu, masyarakat mempertanyakan kepatutan tunjangan ini. Sebagai contoh, banyak warga kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, sementara legislator menerima tunjangan besar. Oleh sebab itu, organisasi seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyoroti potensi pemborosan dan kurangnya transparansi.

Langkah Menuju Transparansi

Untuk menangani polemik ini, DPR dan DPRD mengambil beberapa langkah. Pertama, DPRD Kabupaten Tangerang membatalkan kenaikan tunjangan dan kembali ke aturan lama. Kedua, DPRD Depok berkomitmen mengevaluasi tunjangan agar lebih sesuai. Ketiga, DPR pusat dan pemerintah berencana mengevaluasi semua tunjangan, termasuk reses dan kunjungan kerja. Dengan kata lain, tekanan masyarakat mendorong perubahan kebijakan.

Namun, transparansi tetap menjadi fokus utama. Oleh karena itu, masyarakat mendesak DPRD membuka rincian tunjangan secara publik, sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, evaluasi tunjangan harus melibatkan aspirasi rakyat untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, tunjangan rumah DPRD di DKI Jakarta (Rp70,4–78,8 juta), Depok (Rp32,5–47,1 juta), dan Kabupaten Tangerang (Rp32–35 juta) memicu gelombang protes masyarakat. Dengan demikian, demonstrasi mendorong pembatalan kenaikan tunjangan di Tangerang dan evaluasi di Depok. Oleh sebab itu, DPR dan DPRD perlu meningkatkan transparansi dan mendengarkan aspirasi rakyat. Ke depannya, kebijakan tunjangan rumah harus mencerminkan kepekaan sosial agar tidak lagi memicu keresahan.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %