0 0
Berita Internasional

Pertemuan Gedung Putih Gaza: Visi Blair dan Kushner

Pertemuan Gedung Putih Gaza
0 0
Read Time:3 Minute, 54 Second

polres-serkot.id – Pada 27 Agustus 2025, Pertemuan Gedung Putih Gaza menjadi panggung diskusi penting tentang masa depan Gaza pasca-perang, dihadiri mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Jared Kushner, menantu Presiden AS Donald Trump. Dipimpin oleh Trump, pertemuan ini fokus pada rencana rekonstruksi, bantuan kemanusiaan, dan penyelesaian krisis sandera. Namun, absennya perwakilan Palestina memicu kekhawatiran tentang nasib warga Gaza. Untuk itu, artikel ini mengulas alasan kehadiran Blair dan Kushner, rencana yang dibahas, dan implikasi regional dari Pertemuan Gedung Putih Gaza.

Peran Tony Blair di Pertemuan Gedung Putih Gaza

Tony Blair diundang karena pengalamannya sebagai utusan Timur Tengah Quartet hingga 2015, dengan fokus pada pembangunan ekonomi Palestina. Melalui Tony Blair Institute (TBI), ia terlibat dalam diskusi sejak Juli 2025, berkonsultasi dengan utusan Trump, Steve Witkoff. Dokumen TBI berjudul “Gaza Economic Blueprint” mengusulkan pelabuhan dalam, pulau buatan, dan zona ekonomi untuk menghubungkan Gaza ke koridor India-Timur Tengah-Eropa. Dengan demikian, kehadiran Blair di Pertemuan Gedung Putih Gaza bertujuan menyampaikan visi ini, meskipun TBI menolak keterlibatan dalam relokasi paksa.

Blair bertemu Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas pasca-pertemuan, membahas proposal rekonstruksi. Namun, tanpa suara Palestina dalam Pertemuan Gedung Putih Gaza, rencana ini menuai kritik sebagai upaya sepihak yang mengabaikan hak warga Gaza.

Kontribusi Jared Kushner di Pertemuan Gedung Putih Gaza

Jared Kushner, arsitek Perjanjian Abraham 2020, hadir karena hubungan eratnya dengan Israel dan negara Teluk seperti UEA, Arab Saudi, dan Qatar. Sebagai penasihat Trump di masa lalu, ia telah berkonsultasi dengan Witkoff selama berbulan-bulan, mendorong ide rekonstruksi Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah”. Pada Februari 2024, Kushner menyebut properti pantai Gaza “berharga” dan menyarankan pemindahan sementara warga untuk “membersihkan” wilayah. Ia juga berkonsultasi dengan profesor Joseph Pelzman, yang mengusulkan penggusuran Gaza dan relokasi warga ke Mesir yang “bangkrut”. Dengan demikian, peran Kushner di Pertemuan Gedung Putih Gaza adalah menyusun visi ini, yang sejalan dengan rencana Trump.

Hubungan Kushner dengan Teluk, melalui dana Affinity Partners, memperkuat pengaruhnya, tetapi pendekatannya mengesampingkan Otoritas Palestina (PA), memicu ketegangan dengan faksi Palestina.

Fokus Rekonstruksi di Pertemuan Gedung Putih Gaza

Rencana utama, “The Great Trust”, mengusulkan Gaza sebagai pusat perdagangan dengan “Trump Riviera”, zona manufaktur Elon Musk, dan jalan tol bertema MBS-MBZ. Didukung model Boston Consulting Group, proyek ini menargetkan nilai ekonomi Gaza hingga USD 324 miliar. Witkoff menyebutnya “komprehensif” dengan motif kemanusiaan, fokus pada bantuan makanan dan tata kelola tanpa Hamas. Ron Dermer, penasihat PM Israel Benjamin Netanyahu, turut hadir untuk menyelaraskan rencana dengan kepentingan Israel.

Mesir dan Yordania menentang penggusian paksa, khawatir destabilisasi Sinai. Liga Arab mendukung kembalinya PA dan pasukan PBB, tetapi UEA menekan Mesir untuk menolak rencana ini, menurut Middle East Eye. Dengan demikian, Pertemuan Gedung Putih Gaza mencerminkan visi ambisius namun kontroversial.

Tantangan dan Peluang Pasca-Pertemuan

Pertemuan Gedung Putih Gaza menawarkan peluang untuk kolaborasi internasional, dengan dukungan Teluk untuk investasi. Trump memprediksi perang berakhir dalam 2-3 minggu, sementara Witkoff menyebut akhir 2025. Namun, tanpa perwakilan Palestina, rencana ini berisiko memperburuk krisis. Sejak Oktober 2023, lebih dari 62.000 warga Gaza tewas, dengan 1,9 juta pengungsi. Israel menolak negara Palestina, seperti ditegaskan Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar, mempersulit solusi dua negara.

PBB dan LSM memperingatkan operasi Gaza City akan sebabkan bencana kemanusiaan. Untuk itu, inklusi Palestina dalam negosiasi krusial untuk keberhasilan rencana rekonstruksi.

Kritik terhadap Rencana Trump dan Kushner

Rencana Trump dan Kushner dikritik karena mengabaikan hak Palestina. Pernyataan Kushner tentang penggusuran dan visi “Riviera” dianggap sebagai pembersihan etnis oleh kelompok HAM. Mesir khawatir pengungsian ke Sinai akan memicu perlawanan bersenjata. Liga Arab menolak rencana ini, mendukung PA dan pasukan PBB. UEA, meskipun sekutu Kushner, menunjukkan ambivalensi dengan menekan Mesir. Dengan demikian, Pertemuan Gedung Putih Gaza memicu ketegangan regional, dengan risiko memperpanjang konflik jika tidak inklusif.

Trump juga menolak ICC dan melanjutkan bantuan militer ke Israel, meskipun ada tuduhan genosida dari PBB dan LSM seperti B’Tselem.

Strategi Diplomasi Pasca-Pertemuan

Trump menerapkan pendekatan ganda: mendukung Israel sambil mendorong rekonstruksi. Witkoff dan Senator Marco Rubio berkoordinasi dengan Sa’ar, sementara Blair dan Kushner mengembangkan proposal tata kelola. Dermer menegaskan Israel tidak ingin okupasi permanen, tetapi memerlukan alternatif aman. Untuk itu, melibatkan mediator Arab seperti Qatar atau Mesir bisa memperkuat rencana, tetapi tanpa PA, legitimasinya dipertanyakan.

Sebagai contoh, konsultasi Blair dengan Abbas menunjukkan upaya menjembatani, tapi tanpa hasil konkret di Pertemuan Gedung Putih Gaza. Kolaborasi dengan PBB diperlukan untuk distribusi bantuan.

Masa Depan Gaza Pasca-Pertemuan

Pertemuan Gedung Putih Gaza menjadi langkah awal menuju rekonstruksi, tetapi keberhasilan bergantung pada gencatan senjata dan inklusi Palestina. Operasi Israel di Gaza City berisiko memperpanjang konflik, sementara rencana Trump membutuhkan dukungan internasional. Kolaborasi dengan Liga Arab dan PBB krusial untuk stabilitas. Dengan demikian, Pertemuan Gedung Putih Gaza bisa menjadi titik balik jika mengutamakan hak Palestina, mengakhiri penderitaan setelah lebih dari dua tahun konflik.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %